Jujur Bermasyarakat

Jujur Bermasyarakat K.H. Hasan Abdullah Sahal

K.H. Hasan Abdullah SahalK.H. Hasan Abdullah SahalSifat iri, dengki, dan dendam, banyak menjangkiti masyarakat. Tak sedikit kalangan suka menuduh orang lain dengan “kafir”, padahal yang dituduhkan tidak demikian. Padahal itu berarti membuka rahasia “kafir” dirinya sendiri.

Membuka rahasia atau membicarakan aib orang lain tanpa ada maksud syar’i, adalah perilaku dan kelakuan orang-orang yang kehabisan modal kehormatan dan harga diri. Karena banyak orang tak sadar bahwa masing-masing pribadi pasti mengantongi -bahkan bisa menjadi “gudang”- aib diri sendiri, yang sewaktu-waktu dapat terbuka. Ndudzubillah!

Dalam alam politik, hal demikian paling banyak terjadi. Baik alam politik kekuasaan, perdagangan, politik sentimen, dan sektor lainnya. Bahkan dalam pergaulan dan hubungan sosial kemasyarakatan pun tidak sepi dari perilaku itu.

Dalam bidang dakwah, pendidikan dan pembinaan umat, hal-hal seperti itu seharusnya tak perlu terjadi. Tapi ego manusia kerap tak terkendali, dan acapkali menggiring pada penyimpangan sikap dari tuntunan akhlak yang mulia.

Untuk memerbaiki sesuatu yang kurang baik, butuh proses. Bukan dengan memburukkan bahkan merusak, atau bergabung bersama orang-orang buruk dengan berbagai keburukannya. Tidak pula dengan keangkuhan, kecongkakkan, kesombongan berlagak insan suci atau semacamnya. Lebih baik tetap bersikap sopan, tawadhdhu’, dan rendah hati.

Seorang dokter atau perawat, tak boleh putus asa lantas ikut menangisi penyakit pasien. Atau membanding-bandingkan si pasien dengan orang lain yang dianggap lebih sehat. Begitu juga dai, pendidik, dan pemimpin, tak boleh mencari muka seraya membela orang rusak hanya karena kelemahan diri sendiri yang tak mampu mencari solusi.

Menjadi guru, jangan ikut-ikut atau turut membiarkan kerusakan, dengan alasan karena kerusakan kini sudah dianggap sudah wajar dilakukan. Demikian pula jangan membiarkan seorang murid puas dalam kebodohannya. Apalagi membiarkannya karena anggapan bahwa kebodohan sudah menjadi milik umum.

Apakah tidak lebih baik tetap menunjukkan kebaikan dan keuntungan menjadi orang tegak, sehat, baik, bebas dari penyakit dan kerusakan? Atau menunjukkan mereka bukti untung rugi jika melanggar syariat?

Tugas berat

Beban generasi ini untuk tidak terkena penyakit moral maupun fisik terlalu berat. Karena saking besarnya dorongan, kuatnya tarikan, dan gencarnya rayuan miliu yang diciptakan dan dibangun untuk menyesatkan mereka, ditambah nasib kehidupan ekonomi keluarga dan masyarakat yang terus menghimpit dan memojokkan peran moral dan harga diri manusia. Kehormatan sudah menjadi barang langka atau “binatang purba” saat ini.

Tugas berat para da’i, pendidik, dan pemimpin adalah membuka kembali ajaran/tuntunan dan sejarah perkembangan Islam yang saat ini banyak ditutup-tutupi kalangan Barat dari wawasan kaum Muslimin.

Keutamaan Islam tidak diajarkan dalam materi pelajaran atau paparan media informasi dan ilmu pengetahuan mereka, karena ada dendam sejarah panjang Perang Salib. Juga ketakutan mereka terhadap bangkitnya kembali Islam, sang penyelamat kemanusiaan.

Wajah Islam mereka gambarkan dengan perilaku golongan pengaku Muslim tapi meninggalkan ajaran Islam. Seakan, itulah Islam. Tak hanya itu, penafsiran sumber-sumber ajaran Islam juga mereka plintir untuk kepentingan pendangkalan dan penyesatan umat Islam.

Tokoh-tokoh Muslim yang cerdas berkualitas mereka cuci otak dengan polesan dan hiasan teori mengkilat seakan emas, padahal sesungguhnya racun/penyakit yang setiap saat dapat merenggut nyawa Islam.

Kebebasan yang merupakan “saudara kandung” kebinatangan, dijadikan pijakah, pegangan dan jalan hidup. Sehingga umat manusia tak ubahnya seperti binatang-binatang modern, siap melakukan kebebasan dan kebinatangannya setiap kali dibutuhkan.

Islam terus menjadi arena perebutan hegemoni, pengakuan, dan superioritas oleh pihak-pihak yang berambisi. Begitulah, pada posisi apapun, di manapun umat Islam berada dan pada masa kapanpun, Islam pasti tetap di atas. Unggul dan tidak mungkin diungguli karena terjaga. Sebab, kelemahan umat Islam bukan berarti salah atau lemahnya ajaran Islam.

Kebohongan publik

Di masa kini, banyak kita dapati, tokoh-tokoh Islam kini banyak yang suka “mencari muka”, unjuk simpati, menghambakan diri kepada atasan, mengkultus individu dan mengagung-agungkannya. Padahal itu semua terbilang perbuatan syirik. Sebab, memuji berlebihan,ta’ajjub kepada prestasi orang lain, bukanlah perbuatan baik. Bahkan justru akan mengurangi bobot kualitas kematangan dan ketokohan seseorang.

“Kelemahan umat Islam bukan berarti salah dan lemahnya ajaran Islam.”

Mencari muka hanya berguna sementara. Ketika masih loyal, akan terasa manis dipandang, tapi kalau mulai tidak menuruti, akan segera dicampakkan, seakan tak pernah dikenal. Ketika berjasa secara materi, akan dipandang, tapi bila pailit atau bangkrut, pandangan akan dialihkan ke pihak lain.

Orang licik yang “mono loyalitas”, kepribadiannya tidak jelas. Ia bukan memurnikan akidah tauhid, merendah diri penuh tawadhu’, khusyu’ dan mengagungkan Sang Khaliq. Karena itu, umat Islam harus waspada dan cerdas menilai orang. Karena saat ini sulit mencari orang yang bisa dipercaya.

Banyak kebohongan yang kasat mata, tapi hanya dibiarkan tanpa ditindak, karena tak ada yang peduli melaporkan kepada yang berwenang. Berpolitik bohong, berdagang bohong, di perkantoran bohong, di sekolah dan kampus bohong, di pusat-pusat perdagangan, di pabrik, bahkan mahkamah pengadilan pun sama saja. Kalangan tua dan muda juga begitu, antar orangtua, remaja, dan sebagainya juga tak kurang kecenderungan bohongnya.

Untunglah umat Islam memiliki tuntunan syari’at yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang tak ada bohong, bahkan ia sanggup membuka kebohongan besar apalagi kecil. Sang Pencipta, sungguh menjadi sandaran tempat “melapor” yang tiada dusta bagi umat Islam, yang janji-Nya selalu dipenuhi.