MEMILIH PEMIMPIN; KH. Anang Rikza Masyhadi, Lc., M.A.

MEMILIH PEMIMPIN; KH. Anang Rikza Masyhadi, Lc., M.A.

Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah S.a.w bersabda: Jika amanah telah hilang, maka tunggulah saat kehancurannya. Ia bertanya: Ya Rasul, bagaimana orang menghilangkan amanah itu? Rasul menjawab: (Yaitu) apabila suatu urusan (ama-nah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (HR. Bukhari)

Hadis Nabi di atas bisa kita maknai dalam konteks kepemimpinan. Bahwa diantara kriteria seorang pemimpin ialah sifat amanah, yaitu orang yang dapat dipercaya mengemban amanat rakyat. Persoalan amanah oleh
Islam dianggap sebagai persoalan yang amat penting dan memiliki kedudukan sentral dalam sistem ajaran agama, karena amanah menyangkut urusan orang banyak.

Oleh karenanya, sebagaimana ditegaskan oleh hadits di atas, jika amanah tidak lagi dipegang teguh dan menjadi acuan dalam mengelola urusan orang banyak, maka saat kehancuran pun tinggal menunggu waktu saja; “jika amanah telah hilang, maka tunggulah saat kehancurannya” demikian penegasan Rasul.

Hadits Rasul tersebut menengarai bahwa hilangnya amanah terutama disebabkan oleh suatu urusan yang dipegang, ditangani atau dikelola oleh orang yang bukan ahlinya, yaitu orang yang tidak mengenal dan menguasai bidang pekerjaannya. Asumsinya adalah, apabila kita menye-rahkan kendali kemudi pesawat terbang kepada seorang sopir bus, maka dapat dibayangkan akibatnya; pesawat dan para penumpangnya akan ikut hancur-binasa. Atau dengan mempercayakan pengelolaan pesantren kepada seorang montir, misalnya, maka jangan berharap akan terjadi lompatan signifikan dalam proses pendidikan dan pengajaran serta peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, iman dan taqwa dalam diri para santri.

Artinya, keahlian sopir bus adalah mengemudikan bus, sementara pesawat terbang harus diserahkan kepada seorang pilot, demikian
seterusnya sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing. Jika tidak demikian, maka apa yang dikhawatirkan Nabi layak menjadi perhatian bersama.

 Dalam kosa kata maupun idiom menejemen modern, hadits Nabi di atas mendorong umat Islam agar dalam mengelola segala sesuatu berorientasi pada asas-asas profesionalitas. Dengan kata lain, Rasulullah SAW hendak mengajak kaum muslimin seluruhnya, untuk senantiasa bersikap dan bertindak secara profesional. Artinya, umat Islam benar-benar dituntut untuk secara sadar dan sungguh-sungguh menyerahkan suatu urusan hanya kepada orang yang betul-betul tepat. Ketika adagium Inggris mengisyaratkan perlunya the right man, in the right place and in the right time; orang yang tepat, untuk jabatan yang sesuai (dengan keahliannya) dan dalam moment yang tepat pula, sesungguhnya Islam telah jauh lebih dini menggariskannya, sejak 14 abad yang lalu.

Namun, menentukan orang yang tepat terkait soal pilihan, menyangkut nalar dan obyektifitas. Persoalannya, di negeri ini banyak orang yang sebetulnya tepat untuk mengemban amanah, tetapi tidak dipilih dan tidak dipercaya. Dalam memilih dan menentukan orang, nalar dan obyektifitas kita justru sering digadaikan untuk mengabdi kepada kepentingan-kepen­tingan politik jangka pendek. Kita lebih sering mengedepankan ego masing-masing, lebih mementingkan individu dan kelompoknya, dan parahnya lagi kita sering terjebak pada hal-hal atau pertimbangan-pertimbangan yang tidak masuk akal.

Tingkat irrasionalitas yang paling tinggi ialah memilih dan menentukan seseorang untuk suatu jabatan tertentu karena faktor-faktor askriptif, ­yaitu faktor-faktor kenisbatan, lebih jelasnya lagi faktor ‘koncoisme’, kolusi dan nepotisme. Misalnya, karena yang bersangkutan masih ada hubungan famili, masih satu suku, tetangga sekampung, se-almamater, sama-sama satu ormas atau satu partai, dan lain sebagainya dengan mengabaikan faktor-faktor kompetensi, yaitu kecakapan dan kemampuan.

Sering kali justru kita sendirilah yang menutup kesempatan kepada orang-orang yang kompeten, yaitu the right man in the right place. Lebih parah lagi kalau kita lalu “menghargai” kesempatan dengan materi; bahwa yang namanya kesempatan menduduki jabatan tertentu adalah seberapa banyak “uang pelicin” yang dikeluarkan dan seberapa tebal amplop yang disodorkan; semakin banyak “uang pelicin”nya, maka semakin terbuka peluangnya untuk dipilih. Inilah yang dalam Istilah populer disebut money politics.

Oleh karenanya, sabda Nabi di atas sesungguhnya mewajibkan kaum muslimin untuk menciptakan dan membuka kesempatan hanya kepada orang-orang yang tepat saja, yaitu orang yang kompeten, kapabel dan akuntabel; sosok yang kredibel. Kesimpulan seperti ini didukung oleh pernyataan Al-Quran: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil… “ (Q, s. An-Nisa [4]:58)

Bangsa Indonesia kini telah demikian terpuruk, hampir di seluruh sektor kehidupannya. Padahal kita hidup di atas bumi Allah yang sangat subur, hutan yang amat luas, kekayaan alam yang melimpah-ruah, yang didukung oleh iklim yang kondusif dengan curah hujan yang cukup; tidak terlalu panas, tidak pula terlalu dingin. Tetapi, karena profesionalisme tidak dijadikan paham dan paradigma dalam mengatur negara, yaitu dengan tidak mempercayakan pengelolaannya kepada orang-orang yang tepat sesuai dengan bidang keahliannya, maka beginilah jadinya.

Kini, sebelum segalanya terlambat, saatnya bangsa Indonesia bahu-membahu dengan caranya masing-masing, menempatkan kembali asas profesionalitas untuk mengelola negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.Bagi rakyat, tiada lain kecuali bersatu-padu dan membuat barisan yang kokoh untuk memilih orang-orang yang diyakini tepat mengurus 220 juta  lebih kepala, dari Sabang sampai Merauke. Inilah kesempatan bangsa Indonesia untuk merubah nasib dengan tangannya sendiri.

Jangan serahkan pengelolaan negeri ini kepada orang-orang yang tidak amanah, tidak menguasai masalah, dan tidak terdidik. Jangan pilih wakil-wakil rakyat yang bodoh dan pengkhianat, jika kita tidak ingin negeri ini hancur lebur di kemudian hari. Mari selamatkan negeri dan anak cucu kita ke depan.

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri”  (Q, s. Al-Ra’d [13]:11)

 

 

Ingat, sekali kesempatan emas ini terlewatkan, maka tunggulah saat kehancurannya. Fantadhiris Sa’ah. Na’udzubillah min dzalik.