Muhammadiyah-NU; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

Muhammadiyah-NU; KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

Siapapun yang hendak membicarakan bangsa Indonesia, maka tidak bisa tidak membicarakan umat Islam Indonesia. Jika ada orang yang mencoba membahas Indonesia tanpa melibatkan pembahasan tentang umat Islam Indonesia, maka ia adalah orang yang sangat aneh dan jelas-jelas tidak paham tentang Indo­nesia.

Membicarakan tentang umat Islam Indonesia, pasti akan membicarakan pula tentang, setidaknya, Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Bisakah membahas umat Islam Indonesia tanpa menying­gung peran keduanya?

Muhammadiyah dan NU adalah mainstream dan bagian terbesar dari umat Islam di negeri ini. Saya tidak tahu persis berapa anggota riil dari kedua ormas tersebut. Konon, menurut beberapa sumber dari kedua ormas tersebut, Muhammadiyah beranggotakan sekitar 50an juta orang, sedangkan NU sekitar 80an juta.

Maka, Muhammadiyah dan NU bagaikan kedua sayap untuk Republik ini; tidak mungkin bisa terbang jika salah satu sayapnya rusak.

Puluhan ribu pesantren yang berafiliasi kepada NU, baik yang besar maupun yang kecil, nyata-nyata telah ikut andil dalam melahirkan manusia Indonesia yang berkontribusi pada negeri ini. Alumninya ada yang jadi lurah, camat, bupati, gubernur bahkan ada yang menjadi menteri atau presiden. Banyak pula jenderal polisi dan TNI yang pernah belajar mengaji, dari ulama-ulama NU.

NU dengan majelis ta’limnya tersebar hingga ke pelosok negeri, dan melaluinya memberikan pengajaran Islam kepada bangsa ini, mulai dari mengenal huruf hijaiyyah sampai pada menghafal Al-Quran. Sepertinya tidak ada desa di negeri ini yang tidak ada orang NU-nya.

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah­ lebih banyak bergerak di perkotaan, dan dikenal sangat konsen pada gerak­an pen­didikan dan kesehatan. Menurut data, saat ini ada sekitar 180an Perguruan­ Tinggi Muhammadiyah dan sekitar 400an rumah sakit milik Muhammadiyah tersebar di seantero negeri. Belum lagi, puluhan ribu SD, MI, SMP, Tsana­wiyah, dan ratusan SMU dan Aliyah.

Tiap kecamatan yang ada Pimpinan Cabang Muhammadiyah-nya, hampir dipastikan ada lembaga pendidikannya, mulai dari TK hingga SMU. Untuk pesan-tren,­ Muhammadiyah tidak memiliki banyak, kisaran seratusan.

Tidak sedikit lurah, camat, bupati, gubernur, menteri, presiden serta pejabat negara lahir dari didikan Perguruan Tinggi­ Muhammadiyah (PTM). Tiap tahun ada puluhan juta anak bangsa­ bukan keluarga Muhammadiyah mengenyam pendidikan tingginya di PTM.

Beberapa kabupaten yang hanya memiliki satu RSUD, sehingga tidak dapat menampung pasien masyarakat, maka di situlah Muhammadiyah melalui rumah sakit dan balai kesehatannya hadir melayani kesehatan masyarakat.

Maka, siapakah yang berani meragukan peran dan kontribusi Muhammadiyah dan NU kepada Republik ini? Maka, keliru besar jika masih ada orang yang selalu menghadap-hadapkan, apalagi membentur-benturkan Muhammadiyah dan NU, apalagi hanya masalah khilafiyyah furuiyyah dan untuk kepentingan jangka pendek. Itu bodoh dan pembodohan! Itu primitif!

Masalah khilafiyyah, furuiyyah, telah ada sejak abad kedua hijriah, dan umat Islam telah berijma’ (membuat konsensus) bahwa setidaknya ada empat madzhab yang diakui, yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali. Keempat madzhab inilah yang paling banyak dianut­ oleh umat Islam sepanjang sejarah­nya di seluruh dunia.

Jadi, jika ada perbedaan pendapat dalam tata cara wudlu, shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, sepanjang pendapatnya merujuk kepada keempat madzhab tersebut, maka bukanlah hal yang aneh dan harus dibenturkan. Ini bukan sekedar perbedaan antara Muhammadiyah­ dan NU, akan tetapi perbedaan madzhab yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab sejak 12 abad yang lalu.

Lambat-laun upaya-upaya pembenturan itu kini mulai hilang. Para ulama dan tokoh kedua ormas Islam terbesar ini telah menyadari bahwa pembenturan keduanya adalah strategi yang diwariskan oleh penjajah untuk memecah belah umat Islam Indonesia yang sangat besar ini. Apalagi kini telah banyak lahir gene­rasi-generasi ulama dari kalangan Muhammadiyah maupun NU yang mumpuni secara keilmuan dan berwawasan luas. Bacaan mereka bukan lagi satu atau dua kitab, tetapi ratusan bahkan ribuan kitab.

Jika pun masih ada, sungguh keterlaluan! Bodoh dan pembodohan! Primitif! Lagi pula, sekarang ini isu khi­lafiyyah sudah tidak relevan dan mulai ditinggalkan umat. Karena umat sudah lelah bertengkar terus; umat menginginkan gerakan-gerakan yang bisa memajukan mereka dalam segala bidang untuk mengejar ketertinggalannya dari umat-umat lain.

Saatnya membangun kerjasama dan sinergi yang berorientasi pada kemajuan dan kemakmuran umat. Muhammadiyah dan NU harus terus bergandengan tangan, merapatkan barisan ukhuwwah Islamiyyah untuk menjadi sayap-sayap bagi Republik ini agar terbang dan melesat jauh. Shaff keduanya harus lurus­ dan rapat agar tidak dimasuki oleh ‘setan-­setan’ yang bisa membatalkan penerbangan Republik ini.

Tazakka lahir untuk ikut ambil bagian dalam upaya memajukan Indo­nesia seluruhnya. Maka, anak orang NU, anak orang Muhammadiyah, Persis,­ Al-Irsyad, Matlaul Anwar, Rifa’iyyah, bahkan anak orang-orang Jawa, Sunda, Sumatera­, Kalimantan, Sulawesi, NTB bahkan NTT dengan beragam suku, etnis­ dan budaya, semuanya dididik dan di­siapkan untuk menjadi calon pemimpin Islam Indonesia di masa depan. Insya­Allah, pemimpin yang mengusung visi­ misi sebagai Perekat Umat, bukan pemecah-belah umat.

“Berpegang teguhlah kamu semua-nya  kepada agama Allah dan janganlah bercerai-berai” (Qs. [3]: 103)