Kembali Kepada Fitrah Kemanusiaan, Kembali Kepada Akhlakul Karimah Untuk Mengatasi Dekadensi Moral Bangsa (Naskah Khutbah Idul Fitri 1437 H) ;KH. Anang Rikza Masyhadi, MA

Kembali Kepada Fitrah Kemanusiaan, Kembali Kepada Akhlakul Karimah Untuk Mengatasi Dekadensi Moral Bangsa (Naskah Khutbah Idul Fitri 1437 H) ;KH. Anang Rikza Masyhadi, MA

 

Kita baru saja meninggalkan Ramadhan, bulan agung yang penuh kemuliaan. Ada yang sedih, ada pula yang bergembira. Yang bersedih merasa bahwa ia kehilangan kesempatan menggapai limpahan rahmat dan barokah Allah yang diturunkan pada bulan Ramadhan.

Yang bersedih merasa belum sempat mengkhatamkan Al-Quran, padahal Jibril dan Rasulullah mencontohkannya dengan saling menyimak bacaan serta hafalan Al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan. Atau merasa belum maksimal menghidupkan malam-malam Ramadhan dan menggapai Lailatul Qadar, malam seribu bulan. Merasa belum beramal banyak di bulan Ramadhan, padahal Allah dan Rasul-Nya menjanjikan pahala berlipat bagi yang beramal di bulan Ramadhan.

Adapun yang bergembira karena menganggap bahwa Ramadhan adalah bulan penuh beban, bahkan –naudzubilLaah min dzalik– menganggapnya sebagai siksaan dan hukuman. Merasa terbebani dengan puasa yang mencegahnya dari menikmati makan, minum dan seksual. Apalagi, malamnya dianjurkan melalukan shalat taraweh dan qiyamul-lail serta itikaf; baginya itu semua melelahkan dan membosankan.

Orang-orang seperti ini perlu dikasihani, karena dengan demikian puasanya tidaklah bermakna apa-apa dan hanya mendapatkan dahaga dan lapar saja.

كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan pahala apa-apa kecuali hanya rasa lapar dan dahaga saja.

Jangan-jangan orang seperti ini menganggap shalat, zakat dan haji sebagai beban, sebagai siksaan, atau sebagai hukuman.

الله أكبر … الله أكبر … ولله الحمد

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah…

Jika anggapannya adalah demikian itu, maka dimana letak hakekat hidup ini baginya yang seorang muslim? Padahal, Allah menegaskan bahwa penciptaannya tidak lain adalah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah itu adalah untuk kepentingan dirinya sendiri, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Qs. Al-Bayyinah [98]: 5)

Demikian halnya dengan puasa, sesungguhnya targetnya adalah membentuk pribadi yang bertakwa: لعلكم تتقون. Jadi, kita diperintah berpuasa supaya kita menjadi hamba yang bertakwa.

Sederhananya, takwa itu memiliki dua unsur yang tidak bisa dipisahkan salah satunya: Pertama, menjalankan seluruh perintah Allah dan Rasul-Nya. Kedua, menjauhi seluruh larangan Allah dan Rasul-Nya. Kedua unsur ini harus ada dalam diri seseorang jika ingin disebut bertakwa.

Sekarang ini, kita saksikan banyak orang muslim yang hanya bisa menjalani salah satunya. Ada yang hanya mampu menjalani perintah, tetapi tidak bisa menjauhi larangan. Ada pula yang hanya bisa menjauhi larangan tetapi tidak mau menjalankan perintah.

Misalnya: ada orang yang rajin shalat 5 waktu, ikut berpuasa pula, dan bahkan sudah pergi haji. Akan tetapi, pada saat yang sama dia masih mendzalimi orang lain, ucapannya tak senonoh, masih mau menipu, masih suka berkhianat, masih menyakiti tetangga, dan lain sebagainya. Padahal semua itu adalah larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya.

Maka, orang semacam ini tidak masuk kategori bertakwa: karena hanya bisa menjalankan perintah tetapi tidak bisa menjauhi larangan. Atau sebaliknya, mampu menghindari larangan akan tetapi tidak mau menjalankan perintah.

Misalnya, ada orang baik sekali, dia bilang "yang penting baik sama tetangga, tidak menipu, tidak berkata jorok dan tak senonoh, tidak dzalim, dan lain sebagainya", namun ia tak mau mengerjakan shalat, tidak pula mau melaksanakan puasa. Yang seperti ini tidak betul juga, karena hanya bisa menjauhi larangan tetapi tidak mau melaksanakan perintah.

Jadi, takwa itu totalitas penghambaan pada Allah: kerjakan semua perintah-Nya dan tinggalkan semua larangan-Nya.

الله أكبر … الله أكبر…ولله الحمد

Kaum muslimin yang berbahagia…

Dengan demikian, takwa adalah capaian ibadah. Dan untuk itu harus dilakukan dengan totalitas jiwa dan raga. Jangan sampai terjadi, ibadah kita kepada Allah dilakukan dengan setengah hati, tidak sungguh-sungguh dan tidak ikhlas. Sementara untuk urusan dunia, kita mati-matian.

Kita masih banyak menjumpai orang muslim, misalnya, yang saat bekerja, baik di kantor, di pasar, di pabrik, atau di sawah, bisa semangat dan sepenuh hati, bahkan letih dan payah pun dikerjakannya. Demi apa? Demi uang dan kekayaan, demi jabatan, demi karier, demi kehormatan, demi popularitas dan demi-demi duniawiyah lainnya yang sifatnya hanya sementara.

Namun, giliran tiba saatnya panggilan beribadah: shalat, puasa, zakat dan haji, sepertinya setengah hati mengerjakannya, atau bahkan tak mengindahkannya. Apa buktinya? Lihat saja saat panggilan adzan berkumandang, berapa yang mendatangi masjid?

Saat Ramadhan, berapa banyak yang sembunyi-sembunyi makan di warung? Malah sekarang bukan lagi sembunyi-sembunyi, melainkan sudah terang-terangan, bahkan warungnya pun buka secara terang-terangan di siang hari bulan Ramadhan. Lalu, dimana letak kesucian bulan Ramadhan dan bagaimana kita akan memuliakannya seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya itu?

Lihat pula berapa banyak orang kaya yang enggan menunaikan zakatnya sebagaimana yang telah ditentukan dalam syariat. Zakat yang hanya 2,5% dan sifatnya wajib saja susah, apalagi berwakaf untuk membangun sarana prasarana kemajuan umat?

Nah, untuk mengelabui bahwa dirinya yang enggan berzakat itu nampak telah berzakat, lalu diundangnya-lah orang-orang miskin dan papa, disuruhnya antri panjang berdesak-desakan di bawah teriknya matahari di depan pagar tinggi rumah mewahnya, di sana dengan gagahnya ia membagikan satu lembar uang 50an ribu. Apakah itu yang disebut zakat? Apakah seperti itu cara membaginya? Apalagi sampai menimbulkan korban jiwa. Inilah pemandangan yang memilukan dan menunjukkan ketidaksungguhan dalam menegakkan perintah Allah.

Seolah-olah telah menegakkan syariat, padahal hakekatnya ia sedang menghancurkannya. Zakat 2,5% itu kewajiban dan sifatnya menunaikan hak. Itu merupakan harta orang-orang miskin yang Allah titipkan pada diri orang-orang kaya. Jadi, jangan merasa bahwa ketika menunaikan zakat 2,5% seolah ia telah berjasa, seolah ia adalah pahlawan.

Bahkan, jika orang yang mampu dan telah wajib zakat namun tidak menunaikannya, maka ia pantas disebut telah merampas harta yang menjadi hak orang lain. Sekali lagi, membayar zakat bukanlah kategori memberi, akan tetapi menunaikan hak orang lain.

Lihat pula berapa banyak orang muslim yang kategori mampu, namun mendaftarkan diri untuk berhaji saja belum terpikirkan dengan berbagai alasan yang dibuatnya sendiri. Padahal, setiap bulannya ia mampu membayar cicilan rumah, mobil, perangkat elektronik dan asesoris kehidupan lainnya. Untuk berhaji ia selalu berdalih belum termasuk kategori orang yang mampu, padahal nilainya hanya puluhan juta saja, sementara secara terang-terangan ia telah menghabiskan uangnya ratusan juta untuk sesuatu yang ia ciptakan sendiri.

Inilah orang-orang hedonis materialistik yang sangat dikecam oleh Al-Quran.

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ. الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ.  يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ. كَلَّا ۖ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ. نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ. الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ. إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ. فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ

Celakalah setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, sedang mereka itu diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Qs. Al-Humazah [104]: 1-9)

الله أكبر … الله أكبر… لا إله إلا الله والله أكبر… الله أكبر ولله الحمد

Kaum muslimin yang dirahmati Allah…

Janganlah Allah dan Rasul-Nya diberi waktu sisa, tenaga sisa, pikiran sisa, harta sisa & hati sisa. Jika kita mendekati Allah dengan setengah hati, maka Allah tidak akan memuliakan kita. Jika kita bersungguh-sungguh, Allah pun akan bersungguh-sungguh. أنا عند ظن عبدي بي

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Qs. Ali Imran [3]: 133)

 

الله أكبر… الله أكبر ولله الحمد

Kaum muslimin rahimakumulLaah.

Sesungguhnya semua bentuk ibadah dalam Islam hakekatnya adalah sebuah gerakan sosial kemasyarakatan. Misalnya, mengapa shalat diakhiri dengan salam sembari menoleh ke kanan dan kiri? Hal itu mengandung makna bahwa setelah shalat seseorang harus bisa menampakkan dan menebarkan  sikap perdamaian (as-salaam) kepada lingkungan yang ada di sekitarnya, setidaknya kepada tetangga kanan dan kirinya.

Artinya, shalat harus membekas dalam perilaku sosial dalam bentuk akhlakul karimah. Jangan sampai, orang yang telah  menunaikan shalat sikap dan perilakunya masih menunjukkan perilaku yang kasar, memusuhi dan tidak ramah. Lalu apa maknanya salam menoleh ke kanan dan kiri sebagai tanda mengakhiri shalat kita?

Itulah yang disebut dengan bekas sujud: من أثر السجود. Jadi, bekas sujud bukan sekedar tanda pada fisik, namun lebih daripada itu tanda dalam sikap dan perilaku.

تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (Qs. Al-Fath [48]: 29)

Itulah mengapa shalat seharusnya dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. (Qs.Al-Ankabut [29]: 45)

Bahkan ibadah seperti haji, orientasinya adalah sosial kemasyarakatan. Apa kata Rasul tentang ciri haji yang mabrur? Yaitu yang memberi makan orang dan menebar kedamaian (salam).

قالوا يا نبي الله، ما الحج المبرور؟ قال: إطعام الطعام و إفشاء السلام

Para sahabat bertanya, apakah haji mabrur itu? Rasul menjawab: memberi makan orang dan menebar salam.

Artinya, letak kemabrurannya adalah dalam perilaku sosialnya, yang disimbolkan dengan memberi makan orang sebagai simbol kedermawanan, dan menebar salam sebagai simbol kedamaian.

Cobalah lihat sejarah: dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia: Muhammadiyah dan NU yang kontribusi dan sumbangsihnya pada negeri ini tak diragukan lagi besarnya, adalah karya orisinil anak-anak bangsa ini setelah keduanya pulang dari Makkah Al-Mukarramah.

Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim Asyari, sepulang dari Tanah Suci bukan sekedar bertambah kesalehan pribadinya dalam konteks hablum-minalLaah saja. Namun lebih dari itu keduanya menyatakan kesalehannya dalam sosial kemasyarakatan, hablum-minan-naas: mendirikan panti asuhan, pesantren, sekolah, rumah sakit penolong kesengsaraan umum, dan gerakan-gerakan sosial lainnya.

الله أكبر … الله أكبر… ولله الحمد

Kaum muslimim yang berbahagia…

Inilah hakekat ibadah yang sesungguhnya: perubahah pada sikap dan perilaku: al-akhlakul karimah. Melalui kemuliaan dan kesempurnaan akhlakul karimah itulah seseorang dinyatakan telah kembali pada fitrahnya sebagai manusia, yaitu sebagai khalifatulLaah di muka bumi.

Jadi, fitrah manusia ada pada kesempurnaan akhlaknya baik akhlak kepada Allah (hablum-minalLaah) maupun akhlak kepada sesama manusia (hablum-minannas).

Dan itulah misi utama risalah Muhammad SAW.

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

Namun, justru perilaku dan akhlak inilah yang saat ini menjadi persoalan serius umat dan bangsa ini. Karena seperti diketahui bersama bangsa ini mengalami dekadensi moral yang sangat serius.

Kemaksiatan merajalela dimana-mana, penyimpangan terjadi di semua sektor kehidupan, dan runtuhnya tata nilai dan pranata kehidupan serta hilangnya budi pekerti dan sopan santun pada generasi muda bangsa ini. Nampaknya, bangsa ini sedang menuju titik terendah dalam dekadensi akhlak.

Hal ini tidak boleh terjadi, sebab jika terus dibiarkan maka inilah pintu masuk kehancuran dan kebinasaan bangsa ini. NaudzubilLaahi min dzalik. Kita harus tegakkan kembali kebenaran, dengan cara yang sebenar-benarnya dengan segenap daya dan kemampuan. Para tokoh bangsa dan pemuka umat harus mempelopori sekaligus menjadi teladan dalam gerakan menegakkan kembali kebenaran di negeri ini.

Sebab, sekarang ini banyak orang belajar kebenaran tetapi tidak menjadi benar. Orang belajar hukum tetapi malah melanggar hukum dan merusak tatanan hukum. Orang belajar politik, tetapi malah merusak sistem politik. Seperti halnya orang belajar shalat tetapi tidak mau shalat. Orang belajar membaca Al-Quran tetapi tidak mau membaca Al-Quran.

Belajar kebenaran itu bisa di majelis-majelis taklim atau di sekolah. Tetapi, menjadi benar itu sikap, bahkan menjadi benar itu pilihan hidup. Ada orang mengetahui di hadapannya ada pilihan benar dan salah, baik dan buruk, dia tahu itu, akan tetapi dia memilih yang salah dan buruk. Maka, menjadi benar, sekali lagi, adalah pilihan hidup.

Menjadi benar juga merupakan hidayah Allah. Orang yang belajar Islam dan mengerti betul akan adanya Hari Pembalasan, nyatanya tidak serta-merta menjadi benar dalam sikap dan perilaku. Ini ada faktor hidayah.

Maka, teruslah memohon hidayah pada Allah. Ini penting, bahkan sesuatu yang paling mahal dalam hidup adalah hidayah. Inti Al-Quran ada pada surat Al-Fatihah (Ummul Kitab), sedangkan inti Al-Fatihah adalah: "ihdinas-shiraatal mustaqiim"(tunjukilah kami jalan yang lurus). Tidak ada surat atau ayat yang paling sering dibaca oleh orang-orang beriman kecuali Al-Fatihah, dan itu artinya selalu memohon petunjuk Allah agar kita tidak mengambil jalan yang menyimpang.

Presiden yang tidak mendapat hidayah, maka akan masuk neraka. Menteri, Gubernur, Bupati, demikian pula pengusaha, dosen, bahkan dai ulama sekalipun jika tidak mendapat hidayah, maka akan terjerumus dan akhirnya masuk neraka.

Rasulullah SAW bersabda:

من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعدا

"Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah apapun baginya kecuali hanya akan semakin jauh dari Allah."

Jadi, harusnya setiap orang yang ilmunya bertambah, hidayahnya juga ikut bertambah. Kalau tidak maka akan tersesat jauh. Demikian pula, orang yang hartanya semakin bertambah, maka harusnya hidayahnya pun semakin bertambah. Kalau tidak hartanya itu akan mencelakakannya sendiri.

Contoh lain: orang yang bertambah karier dan jabatannya, maka hidayahnya pun harus bertambah, supaya tidak menyimpang. Demikian pula orang yang popularitasnya bertambah, sudah semestinya hidayahnya pun bertambah, kalau tidak bisa lupa daratan ia dengan popularitasnya itu.

 

الله أكبر … الله أكبر… لا إله إلا الله والله أكبر… الله أكبر ولله الحمد

Hadirin rahimakumulLaah…

Semoga, di hari yang fitri ini, kita benar-benar bisa kembali kepada fitrah, kepada kesucian jati diri kemanusiaan kita yang tercermin dalam sikap dan perilaku sebagai perwujudan dari akhlakul karimah. Dengan demikian, kita benar-benar akan menjadi hamba yang bertakwa; menjalankan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan: totalitas dalam beribadah kepada-Nya.

Marilah kita berdoa kepada Allah, semoga Allah Yang Maha Bijaksana senantiasa memberi kita hidayah-Nya sehingga kita selalu berada di jalan yang lurus; jalan yang benar.

—-

Doa Penutup Khutbah