Gerakan Wakaf Para Sahabat Nabi SAW; KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

Gerakan Wakaf Para Sahabat Nabi SAW; KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

Wakaf dan zakat merupakan instrumen penting dalam ajaran Islam yang bertujuan memberdayakan potensi ekonomi kaum muslimin. Berbeda dengan zakat yang sifatnya wajib dan menjadi rukun Islam, wakaf bersifat sunnah muakkadah (sunah yang sa­ngat dianjurkan).

Artinya, seseorang yang tidak membayar zakat padahal termasuk kategori mampu, maka ia akan berdosa dan diancam dengan adzab yang pedih. Sementara, wakaf lebih kepada anjuran yang jika melakukannya akan mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat.

Zakat dibagikan kepada 8 golongan (QS. At-Taubah [9]:60), sehingga zakat cenderung habis didistribusikan. Sedangkan wakaf adalah menahan aslinya dan mengalirkan manfaatnya.

Pengertian wakaf adalah menahan harta, baik secara abadi maupun sementara untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan. Yang dimaksud menahan harta adalah seperti orang yang wakaf tanah atau bangunan, maka selama tanah atau bangunan tersebut masih ada, dapat diambil manfaatnya secara berulang-ulang untuk waktu yang tak terbatas, seperti untuk masjid, sekolah, jalan umum, dan lain sebagainya.

Contoh-contoh wakaf sudah banyak di­ketahui dalam sejarah Islam. Masjid Nabawi­ yang ada di kota Rasul, Al-Madinah Al-Munawwarah, misalnya, dahulu tanahnya adalah milik dua anak yatim dari Bani Najjar. Semula mau dihibahkan kepada Rasulullah SAW, tetapi Beliau menolak­nya, karena pertimbangan ia adalah milik anak yatim yang harus dilindungi, dan Rasul memutuskan untuk membelinya dengan harga 10 Dinar­ Emas, yang dibayarkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Sungguh, kolaborasi yang luar biasa: Rasul yang membeli, Abu Bakar yang membayar. 

Pada zaman Nabi, luas Masjid Nabawi hanya 35 x 35 m, lalu perluasan ke sisi utara yang tanahnya adalah wakaf dari sahabat Abdurrahman bin Auf RA, saudagar kaya raya yang menjadi sahabat setia Rasul hingga akhir hayatnya. Abdurrahman bin Auf RA juga memiliki tiga rumah yang salah satunya ia wakafkan untuk menempatkan tamu-tamu­ Rasulullah yang menginap, dikarenakan rumahnya termasuk yang paling megah di Madinah.

Utsman bin Affan RA mewakafkan sumur yang bernama ‘Bi’ru Ruumah’, untuk dipergunakan memberi minum kaum muslimin. Sebelumnya, pemilik sumur adalah seorang Yahudi dan mempersulit warga yang mau membeli air, karena mematok harga tinggi. Maka, Rasulullah menganjurkan untuk membelinya, dan menjanjikan bahwa yang membeli sumur tersebut akan masuk surga. “Barangsiapa yang membeli sumur ‘Ruumah’,­ maka Allah SWT mengampuni dosa-dosa­nya.” (HR. An-Nasai) Lalu, tergeraklah hati Usman bin Affan RA.

Abu Thalhah RA mewakafkan kebunnya, yaitu perkebunan ‘Bairuha’, padahal perkebunan itu adalah harta yang paling dicintainya. Bairuha adalah kebun milik Abu Thalhah yang paling produktif. Abu Thalhah termotivasi oleh ayat yang baru saja diturunkan kepada Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Qs. Ali Imran [3]:92) Abu Thalhah bisa saja mewakafkan kebun yang lainnya, tapi ia memilih mewakafkan yang paling produktif dan paling menghasilkan.‎

Umar bin Khattab RA juga mewakafkan tanah di Khaibar. Tanah Khaibar ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan ba­nyak hasilnya. Umar meminta nasehat kepada Rasulullah, maka Rasul menyuruh agar Umar menahan pokoknya dan memberikan hasilnya kepada fakir miskin, dan Umar pun mela­kukan hal itu. Fakir miskin menjadi sejahtera karena mendapat jatah dari hasil panen tanah Khaibar itu. Hal ini terjadi pada tahun ke-7 Hijriah.

Ketika Umar bin Khattab RA menjadi kha­lifah, ia mencatatkan wakafnya dalam akte wakaf yang dipersaksikan kepada para saksi dan mengumumkannya kepada masyarakat luas. Sejak saat itu ba­nyak keluarga Nabi SAW dan para sahabat yang lain yang mewakafkan tanah dan perkebunannya.­

Orang-orang Barat dan Eropa terke­­sima dengan kenyataan sejarah ini. Maka, mereka pun akhirnya mengakui bahwa Islam adalah penggagas pertama wakaf keluarga. Hal itu secara terang-terangan dinyatakan di dalam Ensiklopedia Amerika, dimana sebelum­nya tidak pernah dikenal dalam perundang-undangan manapun­ baik di dunia Barat maupun Eropa.

Itulah beberapa contoh para sahabat yang selalu mewakafkan sebagian harta yang dicintainya untuk kemaslahatan umat. Karena itulah, Rasulullah memberi kabar gembira dalam hadisnya yang masyhur bahwa ada 10 orang sahabatnya yang dijamin masuk surga: diantaranya adalah para saudagar kaya raya seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Thalhah, dan Abdur­rahman bin Auf (radhialLaahu ‘anhum).

Sedangkan Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, Zaid bin     Tsabit, dan Abu Ubaidillah bin Jarrah memiliki peran lain sebagai tokoh intelektual, birokrat dan panglima perang. Ali bin Abi Thalib RA bahkan oleh Rasul disebut sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan. Ibaratnya, kata Rasul, “aku adalah kota ilmu, Ali adalah pintu gerbangnyaز

Zaid bin Tsabit terkenal sebagai Se­kre­taris Pribadi Rasulullah SAW. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah mendiktekannya kepada Zaid, lalu menuliskankan di kayu, pelepah kurma dan bahan-bahan lain, mengingat waktu itu belum ada kertas.  ‎

Gerakan wakaf seperti itulah yang saat ini dikembangkan kembali oleh Pondok Modern­ Tazakka. Sebab, Peradaban Islam sepanjang sejarahnya hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari gerakan wakaf. Maka, jika ingin membangun peradaban masa depan, tidak mungkin mengesampingkan gerakan wakaf.

Melalui gerakan wakaf itu, Tazakka berharap ke depan akan lahir sosok-sosok muslim seperti­ halnya Abu Bakar, Umar, Usman, Abdurrahman, Abu Thalhah, dan Abu Ayyub Al-Anshari; para saudagar kaya raya yang komitmen pada kemajuan umat dan tiada henti mewakafkan harta-harta terbaiknya.

Sedangkan melalui gerakan pendidikan pesantren yang dibangun dari wakaf kaum muslimin, Tazakka memimpikan kembali lahirnya generasi-generasi ulama intelektual­ seperti Ali bin Abi Thalib, Zaid bin ­Tsabit, Aisyah­ binti Abu Bakar, dan Zubair bin ­Awwam, atau yang belakangan seperti Ibnu Rusyd  dan Imam Ghazali yang ruang belajarnya adalah dari hasil wakaf. Ulama intelektual itu selalu hadir memberikan pencerahan kepada umat melalui keluasan ilmu dan kearifan sikapnya.

Semoga kita bisa meneladani para sahabat Nabi itu, sehingga kita pun pantas mendapatkan kabar gembira surga sebagaimana Rasul menjanjikannya pada para sahabatnya itu. 

“peradaban Islam sepanjang sejarahnya hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari gerakan wakaf”