Membangun Kemandirian Pesantren melalui Ekonomi Kreatif dan Pemberdayaan Ziswaf; KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

Membangun Kemandirian Pesantren melalui Ekonomi Kreatif dan Pemberdayaan Ziswaf; KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.

TAZAKKA – Pesantren harus menjadi pusat gerakan dan keunggulan umat terutama dalam bidang dakwah dan pendidikan. Maka, pesantren harus kuat dan mandiri baik dari segi kelembagaan maupun ekonomi. Agar pesantren dapat tegak berdiri dan leluasa mengembangkan dakwah pencerahan kpd umat. Ada tiga potensi ekonomi pesantren: (1) potensi internal dari santri; (2) potensi masyarakat sekitar pesantren; dan (3) potensi zakat dan wakaf umat. Ketiganya harus diberdayakan dan diolah oleh pesantren.

Jika dilihat dari aspek ekonomi, maka setiap pesantren akan melahirkan pasar, dan selanjutnya akan melahirkan industri pesantren. Contoh: dikarenakan sistem asrama dimana santri tinggal di pesantren 24 jam sehari dan dalam waktu yang lama, maka kebutuhan setiap santri dari ujung kepala hingga ujung kaki akan menciptakan pasar tersendiri. Pasar tersebut mendorong lahirnya industri pesantren.

Mulai dari makanan, minuman, jajanan, cemilan, pakaian, peci, sandal, sepatu, hingga tempat tidur, lemari pakaian, dan lain-lainnya adalah pasar yang harus diberdayakan oleh pesantren. Tinggal pilih: apakah pesantren akan menciptakan pasarnya sendiri atau menyerahkannya kepada pasar bebas. Jika pesantren memilih menciptakan pasar sendiri, maka selain akan menambah income pesantren dan menjadi gerakan ekonomi kreatif pesantren bersama masyarakat, juga akan membuka lapangan pekerjaan karena industri pesantren akan tumbuh.

Pesantren harus menghitung secara rasional ekonomis potensi-potensi pasar tersebut, selanjutnya melakukan proteksi ekonomi. "Dari santri, oleh santri dan untuk santri". Maka, butuh SDM yang memadai untuk melakukan langkah-langkah kongrit memberdayakan potensi pasar pesantren dan  membangun industri pesantren. Di sinilah perlunya kolaborasi dan sinergi antara pesantren di satu sisi dengan dunia usaha dan profesional di sisi lain.

Potensi zakat dan wakaf umat harus digarap secara serius, karena potensinya yang amat besar namun belum optimal digarap oleh umat selama ini. Padahal, institusi sosial keagamaan yang saat ini paling mapan dan mengakar adalah pesantren, karena ada faktor simbolik tokoh ulama di dalamnya. Ini harus bisa dicermati oleh pesantren dan diolah menjadi energi serta peluang untuk melakukan pendekatan kepada umat dalam kerangka fundraising zakat dan wakaf. Setiap pimpinan pesantren harus menyadari hal ini.

Zakat bisa digunakan untuk memacu peningkatan SDM umat, khususnya SDM pesantren. Karena zakat dibagikan kepada 8 asnaf, dan kesemua asnaf tersebut hakekatnya adalah SDM. Di Tazakka, zakat didistribusikan kepada 8 asnaf melalui 4 pendekatan program: Pendidikan, Ekonomi, Kesehatan dan Sosial. Pendidikan menempati porsi tertinggi (56%), disusul kemudian dakwah dan sosial (27%), kesehatan (12%), dan ekonomi (3%).

Artinya, bisa jadi keluarga fakir miskin tidak diberi uang tunai, akan tetapi didekati melalui program pendidikan, yaitu dengan memberikan beasiswa penuh studi di pesantren sampai S1, atau dengan memberinya modal kerja.

Adapun wakaf lebih diorientasikan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan fisik berupa sarana dan prasarana pendidikan di pesantren. Potensi wakaf jauh lebih besar daripada potensi zakat. Maka, perlu dilakukan tajdid dalam pemikiran wakaf dengan berdasar pada pandangan fiqh ulama salaf dan kontemporer serta best practice lembaga-lembaga wakaf dunia.

Tidak ada jejak peradaban Islam sepanjang sejarahnya hingga kini yang terlepas dari jejak wakafnya. Artinya, wakaf selalu menjadi instrumen sangat menentukan dalam perkembangan peradaban Islam. Hal ini harus dipahami dengan baik oleh pesantren jika pesantren ingin menjadi bagian dari peradaban Islam masa depan.

Pesantren dalam hal ini ulama perlu menjalin aliansi strategis dan melakukan kolaborasi serta sinergi dengan dunia usaha yaitu saudagar. Sebab, dalam sejarah dakwah Rasul SAW baik di Makkah maupun di Madinah tidak pernah tidak didampingi dan disupport oleh para sahabat saudagar: Siti Khodijah, Abu Bakar, Usman, Abdurrahman bin Auf, Abu Ayyub Al-Anshari, Abu Thalhah (radhiyalLaahu anhum) & lain-lainnya. Inilah yang saya sebut dengan Sunnah Rasul dalam Dakwah dan Pergerakan. Selama ini, pengertian sunnah selalu dipahami dalam kerangka fiqh oriented (shalat sunah, puasa sunah dll), padahal kolaborasi ulama-saudagar adalah bagian dari Sunah Rasul: Sunah dalam Dakwah dan Pergerakan.

Ulama berperan memberikan pencerahan (tanwir) kepada para saudagar, agar potensinya dapat dimaksimalkan untuk pembangunan dan kemajuan Islam, termasuk pesantren. Kolaborasi ulama-saudagar juga dalam rangka melakukan percepatan perkembangan kemajuan pesantren.

Selain saudagar, pesantren perlu pula merangkul kalangan lain dalam umat Islam: seperti dokter, peofesional, pejabat, penegak hukum dan lain-lain. Sehingga pesantren menjadi semacam melting pot (tempat bertemu) para elit umat yang notabene mereka adalah penentu kebijakan umat selama ini.

—————————————————

Pointers Pemaparan pada Rakornas Pesantren Muhammadiyah se-Indonesia: "Menuju Pondok Pesantren Berkemajuan sebagai Pusat Kaderisasi Ulama" di Universitas Muhammadiyah Makasar, 30 Oktober 2016

(Dihadiri sekitar 300an Pimpinan Pondok Pesantren Muhammadiyah se-Indonesia)