Wakaf, Lesson From Madinah

Wakaf, Lesson From Madinah

Wakaf merupakan salah satu instrumen penting dalam ajaran Islam yang bertujuan memberdayakan potensi ekonomi kaum muslimin. Berbeda dengan zakat yang sifatnya wajib dan menjadi rukun Islam, wakaf bersifat sunnah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan). 

Artinya, seseorang yang tidak membayar zakat padahal termasuk kategori mampu, maka ia akan berdosa dan diancam dengan adzab yang pedih. Sementara, wakaf lebih bersifat anjuran yang jika dilakukan akan mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat.

Zakat dibagikan kepada delapan golongan (Qs. At-Taubah [9]:60), sehingga zakat cenderung habis didistribusikan. Sedangkan wakaf adalah menahan aslinya dan mengalirkan manfaatnya. Wakaf tidak habis.

Pengertian wakaf adalah menahan harta, baik secara abadi maupun sementara untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan. Yang dimaksud menahan harta adalah seperti orang yang wakaf tanah atau bangunan, maka selama tanah atau bangunan tersebut masih ada, dapat diambil manfaatnya secara berulang-ulang untuk waktu yang tak terbatas, seperti untuk masjid, sekolah, jalan umum, dan lain sebagainya.

Contoh-contoh wakaf sudah banyak diketahui dalam sejarah Islam. Masjid Nabawi yang ada di kota Rasul, Al-Madinah Al-Munawwarah, misalnya, dahulu tanahnya adalah milik dua anak yatim dari Bani Najjar. Semula mau dihibahkan kepada Rasulullah SAW, tetapi Beliau menolak­nya, karena pertimbangan ia adalah milik anak yatim yang harus dilindungi.

Akhirnya, Rasul memutuskan untuk membelinya dengan harga 10 Dinar­ Emas, yang dibayarkan oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Sungguh, kolaborasi yang luar biasa: Rasul yang membeli, Abu Bakar yang membayar.

Awalnya, Rasul bersikukuh untuk membayarkannya sendiri, akan tetapi Abu Bakar berhasil memaksa Rasul untuk mengalah. Mungkin saja, sikap Abu Bakar itu karena ia ingin terlibat dalam kebaikan yang sedang dirancang oleh Rasul sekaligus ingin mendapatkan keberkahannya. Demikianlah, Rasul dan sahabat terbaiknya itu saling berebut kebaikan.

Pertama kali dibangun luas Masjid Nabawi hanya 35 x 35 m. Lalu setelah perang Khaibar tahun ke-7 H karena semakin bertambahnya jumlah kaum muslimin, Rasulullah SAW memperluasnya ke sisi utara dan barat menjadi 50 m x 50 m. Karena perluasan itu masuk ke area tanah milik Sayyidina Abdurrahman bin Auf RA, saudagar kaya raya yang menjadi sahabat setia Rasul hingga akhir hayatnya, maka serta merta ia pun dengan riang gembira mewakafkannya.

Sayyidina Abdurrahman bin Auf RA juga memiliki tiga rumah besar di Madinah, yang salah satunya ia wakafkan untuk menempatkan tamu-tamu Rasulullah yang menginap. Artinya, dalam konteks sekarang, salah satu rumah besar Abdurrahman bin Auf itu difungsikan sebagai guest house  untuk tamu-tamu Rasulullah.

Sayyidina Utsman bin Affan RA mewakafkan sumur yang bernama 'Bi’ru Ruumah’, untuk dipergunakan memberi minum kaum muslimin. Sebelumnya, pemilik sumur adalah seorang Yahudi dan mempersulit warga yang mau membeli air, karena mematok harga tinggi. Maka, Rasulullah menganjurkan untuk membelinya, dan menjanjikan bahwa yang membeli sumur tersebut akan masuk surga. “Barangsiapa yang membeli sumur 'Ruumah', maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.” (HR. An-Nasai) Lalu, tergeraklah hati Usman bin Affan RA. 

Saat akan dibayar oleh Sayyidina Ustman, si Yahudi berbalik dan meminta kenaikan harga berlipat. Khalifah ketiga itu pun menyetujuinya, namun saat akan dibayar si Yahudi pemilik sumur kembali menolak dan meminta kenaikan harga berlipat. Demikianlah seterusnya hingga harga sumur itu pun sangat fantastis.

Uniknya, Sayyidina Usman tidak menolak setiap penawaran yang diminta oleh si Yahudi. Hingga kemudian, terjadilah transaksi jual beli dengan harga yang membuat orang Madinah kala itu menggelengkan kepala.

Usai menerima bayaran harga sumur, si Yahudi dengan nada heran bertanya kepada Sayydina Usman mengapa beliau mau menuruti tawarannya. Bahkan, dengan nada sinis si Yahudi menganggapnya sebagai orang yang tidak paham untung rugi dalam jual beli. Dengan entengnya, Sayyidina Usman menjawab: "Ketahuilah, aku tidak sedang bertransaksi denganmu, tetapi aku sedang bertransaksi dengan Allah." Semakin bingunglah si Yahudi mendengar jawaban itu, karena ia sama sekali tidak dapat memahaminya. 

Sayyidina Abu Thalhah RA mewakafkan kebunnya, yaitu perkebunan ‘Bairuha’, padahal perkebunan itu adalah harta yang paling dicintainya. Bairuha adalah kebun milik Abu Thalhah yang paling produktif. Beliau termotivasi oleh ayat yang baru saja diturunkan kepada Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Qs. Ali Imran [3]:92)

Sayyidina Abu Thalhah bisa saja mewakafkan kebun yang lainnya, tapi ia memilih mewakafkan yang paling produktif dan paling menghasilkan.‎ Sayyidina Abu Thalhah memahami ayat itu dengan sangat baik: "…sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…". Maka, yang paling dicintainya itulah yang diwakafkan. Bukan sekedar yang dimiliki, tetapi yang disukainya.

Saya selalu menganalogikan begini: jika di dalam dompet kita ada lembaran uang pecahan 2.000, 5.000, 10.000, 50.000 dan 100.000 manakah yang paling disukai? Pertanyaan berikutnya, pecahan manakah yang mungkin akan kita keluarkan lalu dimasukkan ke kotak amal masjid? Jawaban dari pertanyaan itu ada pada kata "yang dimiliki" dan "yang disukai".

Sayyidina Umar bin Khattab RA juga mewakafkan tanah di Khaibar. Tanah Khaibar ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan banyak hasilnya. Sayyidina Umar meminta nasehat kepada Rasulullah, maka Rasul menyuruhnya agar menahan pokoknya dan memberikan hasilnya kepada fakir miskin, dan Umar pun mela­kukannya. Fakir miskin menjadi sejahtera karena mendapat jatah dari hasil panen tanah Khaibar itu. Hal ini terjadi pada tahun ke-7 Hijriah. 

Ketika Sayyidina Umar bin Khattab RA menjadi khalifah, ia mencatatkan wakafnya dalam akte wakaf yang dipersaksikan kepada para saksi dan mengumumkannya kepada masyarakat luas. Sejak saat itu ba­nyak keluarga Nabi SAW dan para sahabat yang lain yang mewakafkan tanah dan perkebunannya dan mencatatkannya dalam lembaran negara.  

Orang-orang Barat dan Eropa terke­­sima dengan kenyataan sejarah ini. Maka, mereka pun akhirnya mengakui bahwa Islam adalah penggagas pertama wakaf keluarga. Hal itu secara terang-terangan dinyatakan di dalam Ensiklopedia Amerika, dimana sebelum­nya tidak pernah dikenal dalam perundang-undangan manapun­ baik di dunia Barat maupun Eropa. 

Itulah beberapa contoh para sahabat yang selalu mewakafkan sebagian harta yang dicintainya untuk kemaslahatan umat. Karena itulah, Rasulullah SAW memberi kabar gembira dalam hadisnya yang masyhur bahwa ada 10 orang sahabatnya yang dijamin masuk surga: diantaranya adalah para saudagar kaya raya seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, Sayyidina Thalhah, dan Sayyidina Abdur­rahman bin Auf (radhialLaahu 'anhum). 

Sedangkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Zubair bin Awwam, Sayyidina Saad bin Abi Waqqas, Sayyidina Zaid bin Tsabit, dan Sayyidina Abu Ubaidillah bin Jarrah (radhialLaahu anhum),  memiliki peran lain sebagai tokoh intelektual, birokrat dan panglima perang. Ali bin Abi Thalib RA bahkan oleh Rasul disebut sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan. "Aku adalah kota ilmu, Ali adalah pintu gerbangnya" kata Rasul.

Sayyidina Zaid bin Tsabit terkenal sebagai Sekretaris Pribadi Rasulullah SAW. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah mendiktekannya kepada Zaid, lalu menuliskankan di kayu, pelepah kurma dan bahan-bahan lain, mengingat waktu itu belum ada kertas.  ‎

Gerakan wakaf seperti itulah yang mestinya terus dikembangkan di tengah umat kita saat ini. Sebab, Peradaban Islam sepanjang sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari gerakan wakaf. Maka, jika ingin membangun peradaban masa depan, gerakan wakaf haruslah menjadi salah satu pijakan terpentingnya.

Melalui gerakan wakaf itu, kita berharap ke depan akan lahir sosok-sosok muslim seperti­ halnya Abu Bakar, Umar, Usman, Abdurrahman, Abu Thalhah, dan Abu Ayyub Al-Anshari; para saudagar kaya raya yang komitmen pada kemajuan umat dan tiada henti mewakafkan harta-harta terbaiknya.

Sedangkan melalui gerakan wakaf untuk pendidikan kita memimpikan kembali lahirnya generasi-generasi ulama intelektual seperti Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Aisyah binti Abu Bakar, dan Zubair bin Awwam, atau yang belakangan seperti Ibnu Rusyd  dan Imam Ghazali yang ruang belajarnya adalah dari hasil wakaf. Ulama intelektual itu selalu hadir memberikan pencerahan kepada umat melalui keluasan ilmu dan kearifan sikapnya.

Semoga kita bisa meneladani para sahabat Nabi itu, sehingga kita pun pantas mendapatkan kabar gembira surga sebagaimana Rasul menjanjikannya pada para sahabatnya itu.  

‎ KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A.
Al-Madinah Al-Munawwarah (1 Jumada Ula 1438/ 29 Januari 2017)