Keutamaan Masjidil Haram

Keutamaan Masjidil Haram

Masjidil Haram memiliki banyak keutamaan, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi SAW. Salah satunya adalah riwayat dari Abu Dzar RA, bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali dibangun di muka bumi?”, Rasulullah menjawab, “Masjidil Haram.” “Lalu masjid apa lagi?, tanyaku kembali. Beliau menjawab, “Masjidil Aqsha.” “Berapa lama antara keduanya?” “40 tahun,” jawab Rasul. (HR. Muslim)

Sedangkan dari Jabir RA dikisahkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

عَنْ جَابِرٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ. إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ. وَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ.

“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) ialah 1000 kali lebih utama daripada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram. Karena shalat di Masjidil Haram ialah lebih utama 100.000 kali daripada shalat di masjid lain.” (HR. Ibnu Majah)

Jika dihitung, maka keutamaan shalat di Masjidil Haram kira-kira sama dengan shalat di masjid lain selama 55 tahun, 6 bulan, 20 malam. Namun demikian, bukan berarti jika seseorang telah shalat di Masjidil Haram kemudian tidak perlu shalat lagi jika telah kembali ke kampung halamannya, karena mengira telah kelebihan pahala dan keutamaan. Pandangan ini keliru besar! Sebab yang dimaksud oleh Rasulullah SAW ialah keutamaan dan pahala, bukan kewajiban shalatnya. Artinya, jika seseorang telah shalat di Masjidil Haram dan mendapatkan banyak sekali keutamaan yang berlipatganda, ia tetap wajib melaksanakan shalat di tempat lain selama masih hidup, karena meninggalkan shalat berarti berbuat dosa besar kepada Allah SWT (minal kabair).

Pada mulanya, dahulu orang shalat bersama imam di belakang Maqam Ibrahim, dekat Ka’bah. Namun, lama kelamaan dirasa semakin sempit karena bertambahnya jumlah jamaah, sehingga Gubernur Makkah pada waktu itu, Khalid bin Abdullah Al-Qusary (wafat 120 H) menata dan menertibkan shaf orang-orang yang shalat di Masjidil Haram. Perbuatannya ini didukung oleh para ulama besar dari golongan tabi’in dan para ulama as-salafus shaleh, maka diteruskanlah upaya baik tersebut.

Imam Atha’ ketika dimintai fatwanya tentang hal ini, Beliau mengatakan, “satu shaf di sekeliling Ka’bah dan seterusnya.” Maksud dari fatwa ini adalah bahwa shaf di Masjidil Haram berbentuk melingkar mengeliling Ka’bah, mulai dari shaf paling depan –paling dekat dengan Ka’bah- dan seterusnya melingkar ke belakang. Fatwa inilah yang digunakan hingga sekarang ini. Imam Atha’ mendasarkan fatwanya dengan mengutip sebuah ayat Al-Quran,

وَتَرَى الْمَلاَئِكَةَ حَآفِّينَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ

“Dan engkau (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat melingkar di sekeliling ‘Arsy, bertasbih sambil memuji Tuhannya…” (Qs. Az-Zumar [39]:75)

Pada zaman Rasulullah SAW maupun Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, Masjidil Haram tidak memiliki dinding atau tembok, hanya hamparan halaman. Jika orang berdiri di dekat Ka’bah ia bisa memandang ke sekeliling tanpa terhalang. Kemudian, pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA timbul inisiatif untuk memperluas Masjidil Haram dengan cara membeli tanah di sekitarnya, karena dirasakan jamaah semakin membludak.

Tetapi ketika akan transaksi jual-beli tanah itu ada beberapa tokoh-tokoh pemuka Makkah yang mencegah dan menghalang-halanginya, lalu Umar bin Khattab menghardik mereka dengan nada keras, “Kalian semua memang diturunkan di Ka’bah, tetapi Ka’bah tidak diturunkan untuk kalian, melainkan karena keabadiannya.”

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَآءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

“Sungguh orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang  telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir, dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (Qs. Al-Hajj [22]:25)

Dengan demikian sejarah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khattab RA ialah orang yang pertama kali memberi dinding dan tembok di sekeliling Masjidil Haram, membuat pintu-pintunya, dan melapisi lantai tempat thawaf dengan batu-batu kerikil. Setelah Khalifah Umar bin Khattab RA perluasan dilakukan secara berturut-turut oleh khalifah-khalifah selanjutnya: (1) Usman bin Affan RA (26 H); (2) Abdullah bin Zubair RA (65 H); (3) Al-Walid bin Abdul Malik RA (91 H); (4) Abu Ja’far Al-Manshur Al-Abbasi RA (137 H); (5) Muhammad Al-Mahdi Al-Abbasi RA (160 H); (6) Al-Mu’tadid Al-Abbasi RA (284 H); (7) Al-Muqtadir Al-Abbasi RA (306 H); (8) Raja Abdul Aziz As-Saudi (1375 H); (9) Raja Fahd bin Abdul Aziz As-Saudi (1409 H); (10) Raja Abdullah bin Abdul Aziz, yang sekarang ini sedang membangun mega proyek perluasan Masjidil Haram dengan dana mencapai milyaran dolar. Kemudian dilanjutkan oleh Raja Salman bin Abdul Aziz.

Di Masjidil Haram terdapat tempat sai. Проститутки в городе индивидуалки Самара Ночные бабочки и девушки легкого поведения. Nabi SAW pernah mengumpulkan orang-orang Quraisy Makkah di bukit Shafa untuk mendakwahi mereka kepada tauhid, risalahnya dan kepada peringatan Hari Akhir. Orang-orang Quraisy pun antusias menghadiri undangan itu, termasuk Abu Lahab, bahkan jika ada yang berhalangan mereka mengirimkan utusannya; mereka ingin memastikan apa yang akan dilakukan oleh Muhammad SAW. Setelah Nabi menyampaikan seruan dakwahnya, Abu Lahab marah-marah dan mengumpat, “Celaka kau, untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Setelah itu turunlah surat Al-Lahab (Al-Masad):

تَبَّتْ يَدَآ أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَآ أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَاراً ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, si pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Qs. Al-Lahab [111]:1-5)

Di dalam Kitab ‘Sirah li Ibni Hisyam’ disebutkan bahwa di bukit Shafa itu pula Nabi SAW pernah disakiti dan dipukul kepalanya dengan batu oleh Abu Jahal hingga terluka dan mengeluarkan darah. Ketika Hamzah bin Abdul Muthalib yang notabene adalah paman Nabi mengetahui hal itu, ia langsung mendatangi Abu Jahal yang ketika itu sedang berkumpul bersama orang-orang Quraisy di dekat Ka’bah. “Bagaimana engkau mengumpat keponakanku sementara aku berada dalam agamanya?” hardik Hamzah kepada Abu Jahal. Kemudian, sebagai pembalasan, ia memukul Abu Jahal dengan busur panah hingga menyebabkan luka yang cukup parah.

Demikianlah sekelumit peristiwa yang terjadi di tempat sai. Namun, sesungguhnya ibadah sai antara bukit Shafa dan Marwa baik dalam haji maupun umrah adalah dalam rangka menapaktilasi perjuangan dan pengorbanan Hajar. Kisahnya adalah ketika Ibrahim, Hajar dan putranya Ismail sedang berada di dekat Ka’bah. Ketika Ibrahim AS dipanggil oleh Allah untuk pergi ke suatu tempat, otomatis Hajar dan anaknya ditinggalkannya di situ dengan persediaan air seadanya.

Ketika air itu habis, Hajar memandangi putranya, Ismail, yang menggeliat karena mulai kehausan. Maka, Hajar pun naik ke bukit Shafa untuk melihat apakah ada orang lain yang bisa menolongnya atau bahan makanan minuman yang bisa diperolehnya. Ternyata tidak ada. Lalu, larilah ia ke bukit Marwa, namun hasilnya pun sama.

Hal itu dilakukannya sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwa.  Dan pada putaran ketujuh di Marwa, Hajar mendengar suara, lalu ia berkata, “diamlah”, namun suara itu terus terdengar. Ternyata itu adalah suara malaikat yang mengepakkan sayapnya di dekat Ka’bah, maka memancarlah air zam-zam. Itulah usaha dan kesungguhan Hajar yang akhirnya membuahkan hasil. Ibnu Abbas RA meriwayatkan dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “Demikianlah usaha manusia diantara keduanya.”

Hikmah dari sai adalah bahwa seseorang tidak dibenarkan berputus asa dalam usahanya mencari kehidupan, sebagaimana Hajar yang tidak putus asa dan terus mencari air untuk kehidupan meskipun harus berlari-lari di tempat yang sama sebanyak tujuh kali, yaitu antara Shafa dan Marwa. Sebab, di balik setiap usaha Allah SWT akan memberikan balasannya, dan sebagaimana janji-Nya bahwa setiap kesulitan akan ada kemudahan. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Qs. Alam Nasyrah [94]:5-6)

Sai antara Shafa dan Marwa secara filosofis menggambarkan usaha duniawiyah kita. Setiap hari, seseorang akan mondar-mandir dari rumahnya menuju tempat pekerjaannya, dan itu dilakukan selama bertahun-tahun. Bosankah melewati jalan yang sama setiap hari? Tidak, sebab di situlah ia mendapatkan kehidupan duniawinya.

Maka, dalam meniti usaha duniawiyah itulah, kita dituntut sabar, istiqomah, optimis dan penuh harap kepada Allah SWT. Sebagaimana yang diteladankan Hajar. Jika demikian, kelak kita akan mendapatkan zam-zam kehidupan, layaknya Hajar. Maka, carilah rezeki dunia seperti zam-zam: bersih, suci, abadi dan diberkahi oleh Allah SWT. Itulah makna sai, dimana sai itu sendiri artinya adalah ‘usaha’.

Selama di Masjidil Haram, selain melaksanakan shalat fardu berjamaah, perbanyak pula thawaf, dan zikir. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidaklah orang yang thawaf itu meletakkan satu kakinya dan mengangkat kaki yang lain, kecuali Allah gugurkan daripadanya satu kesalahan (dosa), dan dituliskan oleh Allah untuknya satu kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi)

Gunakan kesempatan selama di Makkah untuk memperbanyak beribadah di Masjidil Haram. Nikmatilah setiap kesempatan untuk bercengkrama dengan Ka’bah, sebagaimana pesan Rasulullah:

عن ابن عمرَ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: اسْتَمْتِعُوا بهَذا البيتِ فَقَدْ هُدِمَ مَرَّتَيْنِ ويُرْفَعُ في الثَّالِثَة  (رواه الب

“Bersenang-senanglah kamu dengan Rumah (Baitullah) ini, karena sesungguhnya ia telah dirobohkan sebanyak dua kali, dan pada kali yang ketiga ia akan diangkat (oleh Allah).” (HR. Al-Bazzar)

KH. Anang Rikza Masyhadi, MA
Penerjemah buku Trilogi Sejarah Makkah, Madinah & Masjid Nabawi, Penerbit Ar-Rasheed, Madinah, KSA