Lesson from Moscow #2 : Halal Life Style

Lesson from Moscow #2 : Halal Life Style

Hal paling prinsip dalam keberagamaan seorang muslim adalah masalah halal haram: yang boleh dan yang tidak boleh. Seorang muslim yang benar-benar muslim, muslim yang mukmin dan muttaqin, dengan sendirinya akan menjadikan halal sebagai lifestyle-nya.

Makan-minum harus halal; bekerja mencari nafkah pun harus dengan cara yang halal; hingga membangun rumah-tangga pun harus dengan cara yang halal pula yaitu melalui pernikahan yang sah. Gaya hidup halal. Artinya, semua serba harus halal. Yang haram akan dihindarinya.

Ada sedikit pengalaman dalam beberapa kali saya pergi ke negeri-negeri yang mayoritasnya bukan muslim: Eropa, Korea, Cina, Hongkong, New Zealand, Australia, Rusia dan lain-lain. Terutama menyangkut soal makanan.

Setiap kali destinasinya adalah negeri-negeri itu, pertama, saya pastikan bahwa program travelnya menyediakan paket halal tour. Tentu saja, travelnya harus bermitra dengan travel lokal yang paham tentang visi misi ini. Halal tour.

Kedua, saya selalu menyiapkan diri dengan perbekalan makanan minuman secukupnya untuk selama perjalanan. Roti-roti kering, mie instran, kecap, saos, sambel, rendang, makanan energi, dan aneka lainnya. Cukuplah untuk cadangan sarapan dan makan siang jika di lapangan memang tidak ditemukan restoran halal, atau yang meragukan kehalalannya.

Ketiga, setiap kali mencari restoran, pastikan ada sertifikat halal dari lembaga otoritas setempat: biasanya oleh mufti setempat atau lembaga keislaman di situ.

Keempat, di restoran, saya harus pastikan bahwa di situ tidak menjual menu daging babi dan yang haram lainnya. Melalui tour guide, biasanya saya minta ditanyakan ke pelayan restoran; kadang tanyanya seperti seolah mau memesannya. Jika ada, maka segera beralih ke restoran lain.

Kelima, saya selalu minta penjelasan agak detail kepada tour guide atas menu-menu yang disajikan. Terutama di negara-negara yang tidak berbahasa Inggris dan menggunakan huruf yang tidak familiar bagi saya, seperti di Beijing, Hongkong, Jepang, Thailand dan Rusia.

Terkadang tour guide menjelaskan bahwa makanan ini mengandung alkohol sekian persen; makanan ini ada campuran babinya, dan seterusnya. Sehingga kita jadi mengetahuinya, yang dengan begitu saya segera putuskan untuk mencari tempat yang lain.

Jangan sungkan bertanya untuk masalah yang satu ini, sebab sangat prinsipil. Ini cara berpikir dan sikap yang benar. Jangan sebaliknya, merasa rugi setelah diberitahu, dengan anggapan andaikata tidak tahu berarti tidak berdosa jika memakannya karena tidak tahu. Lho, mencari tahu informasi halal itu kepentingan kita, bukan kepentingan tour guide.

Ohya, hampir lupa. Keenam, prioritas memilih maskapai yang aman dari sisi kehalalannya: Garuda, Emirates, Etihad, Qatar, Malaysia Airlines, dan maskapai-maskapai Timur Tengah pada umumnya. Adapun jika harus menggunakan maskapai lainnya, pastikan kepada pihak agen travelnya untuk request menu halal di pesawat. Jadi, jika penumpangnya kebanyakan bule-bule, maka biasanya makanan kita diberi kode HALAL MEAL. Maka, tempat duduknya jangan pindah-pindah (tukeran) karena sudah tersistem dalam database bahwa anda adalah penumpang muslim yang request menu halal selama di pesawat.

Itulah sebabnya pilihlah biro perjalanan yang punya misi dan komitmen pada aspek kehalalan. Bukan yang sekedar cari untung dengan membuka destinasi sebanyak-banyaknya, menawarkan aneka ragam paket tour demi menggaet sebanyak-banyaknya pelanggan. Maka, halal travel juga bagian dari lifestyle.

Itu baru soal makanan. Belum lagi soal kejujuran dalam harga dan paket yang ditawarkan; jika manipulatif berarti mengurangi kesempurnaan halalnya, alias syubhat (remang-remang), atau bahkan masuk kategori haram. Apalagi sampai menipu dan menelantarkan pelanggannya.

Kembali ke soal makanan. Allah SWT berfirman: “Hai manusia semuanya, makanlah yang halal dan baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah : 168)

Sesungguhnya, setan itu hanya menyuruhmu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah: 169)

Perhatikan baik-baik ayat di atas. Perintah dalam ayat itu ditujukan kepada seluruh manusia, bersifat universal, artinya tidak terbatas pada orang beriman saja. Yaitu perintah untuk hanya memakan yang halal dan yang baik (halalan toyyiba).

Sebab, setan melalui langkah-langkahnya akan selalu membelokkan kita dari yang halal dan yang baik, dan selalu berusaha agar manusia terjerumus pada makanan yang haram dan yang buruk. Maka, jangan ikuti langkah-langkah setan karena ia adalah musuh yang nyata.

Ada anggapan bahwa seolah perintah memakan yang halal hanya tertuju pada kaum beriman saja. Ini keliru! Sebab, ayatnya jelas menegaskan bahwa masalah halal haram berlaku universal; perintahnya kepada seluruh manusia; termasuk di dalamnya mukmin dan kafir.

Berbeda dengan perintah shalat, misalnya, atau perintah untuk berpuasa, jelas-jelas perintah itu ditujukan kepada orang beriman (Yaa ayyuha-l ladziina aamanuu).  Jadi, soal makanan halal bukan sekedar soal keimanan, tetapi lebih daripada itu soal kemaslahatan manusia itu sendiri. Pasti ada hikmah yang tersirat maupun yang tersurat mengapa Allah melarang sesuatu.

Halal dan haram adalah soal boleh dan tidak boleh. Lebih kepada aspek hukum. Sedangkan baik dan buruk adalah soal etika dan kepatutan. Maka, perintah memakan yang halal dan yang baik bisa dimaknai sebagai gabungan antara hukum dan etika.

Tidak semua yang halal itu baik. Sekedar ilustrasi kita sebutkan contoh berikut. Daging kambing adalah halal, tetapi ia tidak baik dikonsumsi oleh orang yang memiliki riwayat dan potensi penyakit hipertensi atau kolesterol tinggi. Atau seperti emping melinjo; halal tapi tidak baik dimakan oleh orang yang menderita penyakit asam urat. Atau teh manis dengan gula yang banyak, ia halal akan tetapi tidak baik diminum oleh orang yang menderita diabetes.

Oleh karenanya, dalam hal makanan dua unsur harus terpenuhi agar mendapatkan kemaslahatan untuk diri sendiri: yaitu halal dan baik (halalan toyyiba). Catat baik-baik: ini berlaku universal!

Pada ayat berikutnya: 172, Allah lebih mempertegas lagi soal makanan ini, namun khusus ditujukan kepada kaum beriman.  “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Qs. Al-Baqarah: 172)

Menarik dicemati: kepada kaum beriman unsur halal tidak dicantumkan, tetapi hanya unsur baik saja (toyyibat). Mengapa? Bisa jadi, karena kaum beriman mestinya sudah selesai dengan unsur halal haram. Artinya, diasumsikan bahwa kaum beriman tidak mungkin akan memakan yang haram. Jadi, dalam kamus orang beriman, bahasan halal-haram sudah selesai, sudah lewat!

Sebuah ilustrasi perlu diketengahkan di sini. Si A yang muslim bertamu ke rumah si B (tuan rumah) yang juga muslim. Sebagaimana tradisi bertamu sudah barang tentu tuan rumah akan menyiapkan jamuan makan. Maka, sebagai tamu, si A tidak perlu memberitahu kepada pihak tuan rumah bahwa dirinya tidak makan daging babi, bir, atau makanan minuman haram lainnya, apalagi si A menegaskan bahwa semua itu adalah haram baginya.

Meskipun secara substansi benar, tetapi secara metode si A keliru besar. Sebab, tanpa memberitahu seperti itu pun, tuan rumah si B tidak mungkin akan menyuguhkan hidangan makanan dan minuman yang haram, sebab ia juga seorang muslim yang mengerti betul hukum halal haram. Dengan kata lain, si B pasti hanya akan menyuguhkan hidangan yang halal.

Nah, sekarang si A tinggal memilih dari aneka menu dalam hidangan itu yang semuanya pasti halal mana yang baik untuk dirinya. Jika dalam menu itu ada daging kambing dan sayur sop, maka jika si A mengidap hipertensi dan kolesterol pasti akan memilih sayur sop. Jika dihidangkan dua gelas air minum: air putih dan teh manis, maka jika si A mengidap diabetes pastinya ia hanya akan memilih air putih daripada teh manis.

Demikianlah, Allah SWT dalam ayat (172) itu ketika berbicara kepada kaum beriman unsur halalnya “disembunyikan“. Sedangkan pada ayat sebelumnya (168) ketika menyapa semua manusia baik kaum beriman atau kaum kafir, kedua unsur ditunjukkan: halal dan baik.

Seolah Allah ingin menegaskan pada kita bahwa bagi kaum beriman masalah halal haram mestinya telah selesai. Sekarang tinggal memilah saja mana dari semua yang dihalalkan Allah itu yang baik untuk dirinya sendiri.

Baik bagi seseorang belum tentu baik bagi yang lain. Daging kambing yang halal belum tentu baik bagi semua orang. Gula yang manis belum tentu baik bagi semua orang. Rumus ini tidak berlaku dalam konteks halal haram. Daging babi yang telah Allah haramkan, maka keharamannya berlaku umum, bahkan bukan untuk kaum beriman saja akan tetapi (sebetulnya) berlaku pula untuk seluruh manusia.

Ayat 168 dan 172 di atas yang sama-sama berbicara tentang makanan, seolah Allah mengklasikasikannya menjadi dua tingkatan: umum (hai seluruh manusia) dan khusus (hai orang-orang yang beriman). Untuk yang umum ditunjukkan dua unsur penting: halal dan baik  (halalan toyyiba). Sedangkan untuk yang khusus hanya ditunjukkan yang baik-baik saja  (toyyibaat).

Jadi, jika masih ada kaum beriman yang dengan sengaja memakan makanan atau minuman haram, maka hakekatnya dia mundur ke belakang. Dan sudah semestinya kaum beriman hanya akan memakan makanan yang jelas-jelas kehalalannya dan jelas-jelas manfaat baiknya untuk dirinya.

Jangan sampai ada makanan atau minuman haram seteguk pun yang dengan sengaja masuk ke dalam perut kita. Sekuat tenaga harus dihindari. Itulah gaya hidup muslim: HALAL LIFESTYLE.

Tiba-tiba aku teringan pada sebuah doa yang dipanjatkan para ulama dulu: “Ya Allah, cukupilah aku dengan yang halal daripada yang haram; cukupilah aku dengan taat daripada maksiat; cukupilah aku dengan karunia-Mu daripada karunia dari selain-Mu.”

Ya, saat ini memang banyak orang mudah tergoda langkah setan: merasa tidak cukup hidupnya dengan yang halal, sehingga harus memenuhinya dengan yang haram. Sebagaimana merasa tidak cukup dengan bersikap taat pada perintah Allah, sehingga harus memenuhinya dengan maksiat. Begitu pula merasa tidak cukup dengan karunia dari Allah, sehingga harus kesana kemari mencari karunia dari makhluk.

Ya Rabb, teruslah bimbing kami agar selalu dalam jalan-Mu. HALAL LIFESTYLE.

St. Petersburg, Rusia
1 Sya’ban 1440 (6 April 2019)

www.tazakka.or.id