Pondoknya yang Maju atau Kiainya yang Maju? A Lesson from Kiai Syukri (1)

Pondoknya yang Maju atau Kiainya yang Maju? A Lesson from Kiai Syukri (1)

Suatu ketika, dalam sebuah kesempatan saya sowan ke Ayahanda KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi di Gontor, Beliau pernah melontarkan pernyataan menggelitik: “Belum tentu kalau kiainya maju, maka pondoknya ikut maju.”

Tetapi, lanjut Kiai Syukri, kalau pondoknya maju insyaAllah kiainya akan ikut maju.

Seperti biasa, Beliau lalu mengupasnya secara detail dan gamblang, dengan gaya bicara dan gesturnya yang khas. Tentu saja, saya, bersama Ustadz Anizar, Ustadz Bisri dan Ustadz Oyong yang ikut mendampingi saya sowan kala itu seketika langsung pasang telinga, dan mengosongkan pikiran dan hati untuk siap menampung wejangan berharga dari Beliau.

“Ada kiai pimpinan pondok yang maju secara pribadi, tapi pondoknya tidak ikut maju. Karena kiainya hanya memikirkan kemajuan dirinya sendiri, kamu nanti jangan begitu ya!” lanjut Beliau.

“Ada dua tipe: kiai yang membesarkan pondoknya; dan pondok yang membesarkan kiainya. Saya berpesan sama kamu, kalau bisa kamu adalah tipe kiai yang membesarkan pondoknya, sebab jika pondokmu besar, kamu otomatis akan ikut besar. Dan belum tentu, kalau kiainya besar, pondoknya akan besar” tandas Beliau.

“Itu godaannya kiai pondok, sekaligus di situ pula letak ujian keikhlasannya” tandas Beliau yang membuat kami terhenyak sesaat, karena kalimat itu sangat menusuk kalbu.

Kami semua terdiam, dan terus menunggu kalimat apa lagi yang akan disampaikan Beliau. Bagi para santri Gontor era 1985 – 2012 pasti paham, bahwa jika Beliau berbicara wibawa dan kontennya bisa langsung menyetrum pikiran dan sanubari para santri. Pilihan diksi, kalimat, intonasi, dan gesturnya, ditambah pancaran aura kharismanya menyetrum ke diri para santrinya.

“Kiai pondok itu ya pikirannya, tenaganya, waktunya, dan hatinya, bahkan hartanya dicurahkan semuanya untuk pondok, yang ada di pikiran dan hatinya adalah bagaimana pondoknya bisa maju, qolbuhu mu’allaqun bil ma’had: hatinya tertambat memikirkan pondok” kata Kiai Syukri.

“Mimpin pondok dan mendidik santri itu harus totalitas, beh-behan (bahasa Jawa: artinya, mencurahkan semua yang dimilikinya dan siap berkorban untuk pondoknya), jangan setengah-setengah, ayo njajal awak” tutur Beliau.

“InsyaAllah, kalau kamu sungguh-sungguh, nanti Allah juga akan sungguh-sungguh membantumu.” Dan beliau pun lalu mengutip ayat ‘favorit’ Beliau, karena seringnya ayat itu dikutip Beliau hingga kami hafal di luar kepala.

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ یَنصُرۡكُمۡ وَیُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Qs. Muhammad [47]: 7)

Setelah dari Kiai Syukri, seperti biasa, kami lanjutkan sowan pula ke Ayahanda KH. Hasan Abdullah Sahal. Sesampai di sana, nasehatnya pun tak jauh beda.

“Mengurus pondok itu jangan pakai waktu sisa, tenaga sisa, pikiran sisa, dan hati sisa” demikian kata Kiai Hasan.

“Pondokmu dan rumah tinggalmu jauh apa dekat? Kalau tinggalmu masih di luar pondok, tidak di dalam pondok, maka ndak usah lagi minta nasehat kepada saya bagaimana mengurus pondok, percuma” tukas Kiai Hasan.

Jujur, seketika itu kami tersentak dan sangat tertusuk. Sebab, kala itu, saat sedang tahap merintis pendirian Tazakka pada medio 2009 – 2010, saya masih tinggal di Yogya dan bolak-balik Yogya – Bandar, Batang.

Ada yang unik, setiap kali kami sowan ke Kiai Syukri, lalu ke Kiai Hasan, maka hampir selalu nasehatnya senada. Topiknya selalu hampir sama. Padahal, mereka tidak pernah janjian untuk membicaraka topik yang sama. Seolah, saat itu kami seperti mahasiswa yang masuk ke ruang kuliah Kepondokmodernan dengan dosen Kiai Syukri dan Kiai Hasan.

Tapi, terus terang, kalimat terakhir Kiai Syukri dan Kiai Hasan tentang totalitas dalam mengelola pondok itulah yang membuat saya, Ustadz Anizar, Ustadz Bisri, dan Ustadz Oyong pada akhirnya mantap memutuskan untuk kembali ke Bandar, Batang dan meninggalkan semuanya. Memulai lagi dari titik nol.

“BismilLaah… bondo, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane pisan” sebagaimana wasiat Trimurti Pendiri Gontor, KH. Ahmad Sahal.

Tazakka, Batang
8 Rabiul Awal 1442 H
25 Oktober 2020
Anang Rikza Masyhadi